Botox
adalah racun hasil mikroba Clostridium botulinum, biasanya
ditemukan pada makanan kaleng yang sudah rusak. Botox sudah dikenal sejak lebih
dari satu abad lalu. Dalam tiga dekade terakhir, orang mengeksplorasi potensi
racun itu untuk obat.
Pada prinsipnya, botox dapat melumpuhkan
sistem penyampaian pesan di dalam tubuh sehingga menghalangi kontraksi otot.
Racun ini dapat melumpuhkan bahkan mematikan. Namun, pada dosis yang angat rendah, botox dapat dipakai mengendurkan otot
yang renggang.
Relaksasi
otot juga membantu menghilangkan keriput, terutama di wajah sehingga botox pun
laris sebagai obat awet muda. Di Jakarta sudah banyak dokter kulit menggunakan
botox untuk terapi wajah.
Tahun
1989, FDA menyetujui terapi botox. Jika diinjeksikan ke otot yang sedang
berkontraksi, maka botox akan terikat pada ujung neuromuskular dan mengganggu
pelepasan asetikolin sehingga menghamabat kontraksi otot. Dalam dunia
kecantikan, botox digunakan untuk menghilangkan keriput di sudut mata, di
antara alis, dan dahi. Botox juga dapat digunakan untuk menghilangkan
lipatan-lipatan leher. Bahkan, racun ini dapat digunakan untuk mencegah
produksi keringat yang berlebihan.
Aplikasi
botox dalam medis juga tidak kalah banyak. Penderita stroke dengan
gangguan motorik dapat diatasi dengan terapi botox. Botox juga digunakan untuk
terapi cerebral palsy (CP) dan menghilangkan sakit kepala, seperti
migran. Botox yang diinjeksikan di dahi tidak hanya merelaksasi otot, tetapi
diduga juga menghambat pembebasan neurotransmiter yang berhubungan dengan rasa
sakit.
Efek
botox bergantung pada dosis dan bersifat temporer. Sel saraf dapat balik
kembali menghasilkan asetikolin setelah tiga bulan. Tetapi botox biasanya
berlangsung 10 sampai 15 menit. FDA menganjurkan injeksi botox tidak lebih dari
selang tiga bulan dengan dosis efektif yang paling rendah.
Terapi
botox harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan terkontrol karena kelalaian
dapat menyebabkan difusi botox dan berdampak fatal. Efek samping yang dapat
terjadi adalah sakit kepala, infeksi saluran pernapasan, dan gejala influenza
sebagai reaksi alergi. Ada juga kemungkinan terbentuknya antibodi terhadap
botox sehingga pasien kebal pada terapi berikutnya.
Saat
ini biaya terapi botox dirasa masih sangat mahal bagi sebagian besar
masyarakat. Jika botox diproduksi di dalam negeri, maka biayanya mungkin akan
turun sehingga dapat dijangkau oleh banyak pasien cacat mental maupun stroke.
Jadi, tidak sekedar untuk awet muda.
Sumber : Kompas, 9
November 2002